Tuesday, April 5, 2016

BUKAN CERPEN : Masih Akan Berlanjutkah ?

GA PERLU DI BACA. CUMA YANG MENGALAMI YANG NGERTI :")

Mengenalnya mungkin adalah hal yang sama sekali tidak pernah kubayangkan akan terjadi sebelumnya. Berjabat tangan dan mendengar alunan merdu suaranya dari jarak yang begitu dekat adalah kejadian luar biasa yang aku percaya bukanlah suatu kebetulan.
Aku percaya tidak ada yang namanya kebetulan, apalagi sampai sejauh ini.
Aku percaya pertemuan ini ada alasannya. 

Ketika mata ini terpejam dan pikiran melayang kembali ke masa itu, aku masih mengingat jelas, lengkap, bahkan tanpa satu pun terlewatkan. Pandangan matanya, baju yang ia kenakan, senyum di bibirnya, posisi ia berdiri, cara ia berbicara. Kenapa memori itu ada ? 
Karena hati berkata untuk jangan menghapusnya. 

**)
Merah. Awal sekali adalah merah. Berdiri di paling ujung barisan, di depan ratusan orang muda, dengan mic di tangan kanan menempel di bawah bibir. Saat itu, aku hanya memandangnya dari kejauhan. Saat itu hanya nama, hanya wajah, ya hanya sekedar itu. Awal yang aku anggap seperti angin berlalu, awal yang aku anggap hanyalah kebetulan. Lama sejak saat itu, bahkan di kegiatan berikutnya, dia yang kuanggap hanyalah sebuah kebetulan akhirnya tak kunjung datang, tak kunjung menampakkan wajah. Meyakinkan diri, bahwa memang kemarin itu adalah sebuah kebetulan. 

Berikutnya dia datang. Saat itu hitam. Tapi anehnya bukan ke arah dia sorot mata ini mengarah. Saat itu aku hanya merasakan hal yang sama seperti sebelumnya. Kebetulan yang kedua. "Kamu aja gimana?" Asing sekali rasanya, memang. Tapi tersadar, itu kalimat pertama mungkin. Kalimat asing. Masih belum ada rasa saat itu, masih menganggap semuanya akan berakhir sebentar lagi, jadi hanya kagum, terpendam begitu dalam. 
Selanjutnya pun masih hitam. Tapi berbeda. Sorot mata ini berbeda dari sebelumnya. "Itu dia kan?" Mata ini langsung mengenalinya sesaat setelah aku melihat pasukannya. Apa ini masih bisa disebut kebetulan ? Kebetulan yang ketiga ? Kurasa tidak. Melihatnya mengetik perlahan dengan laptop di hadapannya sambil sesekali terlihat bingung dengan proses yang berjalan entah ke arah mana. Sadar bahwa hari itu aku melihatnya sembari tersenyum. Sejak pertemuan itu, aku yakin akan ada hari esok, akan ada saat dimana pertemuan akan kembali. Dan sejak saat itu, mulailah penantian menyapa. Menyapa setiap paginya sejalan dengan tanggal demi tanggal berganti, bulan demi bulan bergulir. Lama rasanya mengikuti detik jam berputar. Hingga.......

Pertemuan yang keempat ? Iya. Cerita dimulai disini. Kisah dan kenangan. 
Berawal dari langkah kaki menuruni bus. Sapaan mengalir begitu saja, seperti teman yang sudah lama kenal. Tapi tidak demikian sebenarnya. Entah kenapa, bukan hanya saat itu tapi setiap saat waktu bergulir begitu cepat ketika bahagia menyapa, bahkan sampai-sampai tidak sempat untuk menarik nafas dan memikirkan ulang kejadian yang terjadi sedetik sebelum. Malam datang bersama kuning, duduk di sebelah tanpa aba-aba dengan tawa menggelegar menyaksikan pentas di panggung sana. Tangan ini pun tak kuasa untuk diam. Senyum pun seakan tak ingin berhenti menampakkan diri. Hanya saja saat itu ada ganjalan di hati. Belum sepenuhnya yakin. Aku ibaratkan Rain saat itu, yang masih begitu menyayangi seorang Gweny padahal hatinya ada untuk Dimas (Magic Hour). Ibaratnya aku masih harus berbagi, ibaratnya ini semua belum milikku. Akan tetapi, saat ungu, sarung, kemeja lengan panjang, dan ikat kepala itu tergambar jelas di mesin potret, aku merasa akan ada cerita baru di hari esok. Kisah ini akan berlanjut, dengan batu sandungan lain yang pasti akan bisa dilewatkan. 

Bagian ini mungkin cukup memalukan. Aku ingat bagaimana heboh dan sibuknya aku saat satu minggu sebelum menghadapi pertemuan kelima. 59 hari lamanya. Lama ? Sebenarnya iya. Berbeda banget dari yang sebelum-sebelumnya. Aku yang dulu bahkan tidak ada harapan sedikit pun untuk berjumpa, apalagi bertegur sapa dan menjalin cerita. Aneh, bagaimana pertemuan bisa membawa cerita bagi seseorang sampai sejauh ini. Waktu itu, kotak-kotak merah. 59 hari yang lewat terbayarkan hanya dengan satu jam setengah. Suasana berbeda. Kegiatan berbeda. Pertemuan yang sebenarnya tidak terduga. Aku ingat rasa pertama yang datang saat dirinya keluar lewat pintu kaca hitam di belakang. Deg. Sejak hari itu berulang kali kalimat ini selalu terbayang "Aku masih ga nyangka". Bersama si biru melewati hitam putih ramainya kotaku. Tanpa arah, dengan kesombongan bak tahu segalanya mengarungi mata angin yang berlawanan arah dari tujuan, hingga akhirnya tertawa saat tujuan hanyalah seratus meter dari tempat berdiri semula. Ketika kosong menyapa dan waktu terus mengejar, keputusan yang diambil pun masih membawaku melayang, meyakinkan diri bahwa itu benar terjadi. Melihat kedua tangannya lincah bermain seperti anak kecil dengan jarak tidak sampai satu meter di depanku. Melihatnya berbicara dengan orang lain diseberang sana sambil sesekali tersenyum melirik. Melihat ke 'sok' polosannya berkata bahwa dia tidak bisa, padahal begitu pandai melebihiku. Aku sempat bingung dengan apa yang didepanku saat itu. Menerawang ke arah lain dan berpikir. Kok bisa ya ini terjadi?

Tanpa memori nyata setelah pertemuan kelima, tapi aku begitu sulit berkata dengan 52 hari setelahnya. Hampir 20 jam bersama abu-abu, putih, dan kotak-kotak biru. Awal yang biasa sebenarnya. Hanya saja penutup yang tak terduga. Diguyur air dari alam bersama derapan langkah puluhan ciptaan Tuhan lainnya. Merasakan sakit dan bahagia bersamaan. Ketika mata terpejam, ketika otak berpikir sudah tak sanggup lagi, ada semangat yang datang saat itu. Mana bisa aku berhenti disini. Perjalanan masih panjang. Datang pergi datang pergi tak kunjung henti. Perginya pun tetap datang. Ah, kalimat yang aneh. Hanya aku yang bisa merasakan maknanya. Ketika semangat serasa milik diri ini. Ketika dirinya bahkan kurasakan selalu ada. Ada rasa putus asa sepasukan manusia saat itu, tapi ada senyum yang bodohnya dari diriku, merasa bahwa waktu ini diberikan Tuhan untuk aku kenang, untuk aku rasakan lebih lama. Dari hal sederhana seperti kunci, air minum, bangku sebelah, kemeja kotak-kotak yang tersampir tidak pada tempatnya sebenarnya, aku merasakan rasa baru. Bolehkah rasa ini muncul ? Kutanya pada langit malam saat perjalanan pulang hari itu, boleh tidaknya belakangan, yang pasti rasa ini ADA. 

Aku menuliskan kisah ini baru tiga hari sejak hitam kembali datang di 60 hari berikutnya. Setengah dari penantian ini sebenarnya putus asa menyergap. Berpikir bahwa 149 hari akan sia-sia saja. Ke tujuh ini hanya biasa saja sebenarnya. Sibuk begitu parah membuat semuanya berlalu sedemikian rupa, hanya potret kecil dengan kondisi sangat tidak siap yang ada untuk mengingatkan pertemuan ke tujuh ini. 

Kisah ini baru bisa kuketikkan sekarang. 
Mengapa ? 
Karena saat ini aku tersadar. 
Setelah ke tujuh ini belum ada rencana apapun. 
Belum ada kepastian untuk membalas penantian. 
Bertanya dalam hati, 
kisah ini..... 

Masih Akan Berlanjutkah ? 

Tertanda, lima april dua ribu enam belas. 
Dengan harapan untuk berjumpa lagi, di kemudian hari :) 




No comments:

Post a Comment