Thursday, April 28, 2016

Mystory : Yang Kau Butuhkan (Bukan Yang Kau Mau)

Ketukan di hati ini mengatakan
Mungkin memang aku yang kau mau
Tapi sisi hati ini berlawan dari pola pikir
Aku bisa berada di sini
Aku bisa ada untukmu
Tapi tidak untuk menjadi yang kau mau

Langit biru selalu datang ketika kegelapan sirna
Rembulan pun hadir saat matahari pergi
Mereka tak pernah bersama
Bertemu pun mungkin tak kuasa

Tapi satu yang alam tahu
Dan yang manusia ingat
Mereka selalu ada,
dalam bagiannya masing-masing
Membawa sebersit keindahan 
Dalam loncatan waktu tanpa sadar

Indah tak selalu bersama
Jauh pun tak selalu mengecewakan
Mungkin jarak ini adalah jembatan
Untuk kita menjalin persahabatan

Aku mengenal dan kau mengisi hariku
Akan selalu tercatat sebagai goresan kenangan
Mungkin goresanku tak seindah goresanmu
Yang kau torehkan dengan segala khayalan
Imajinasi super tinggimu

Tapi disini aku tahu
Inginmu itu bukan yang kau perlu
Sirnalah inginmu itu

Aku disini bersedia
Mengikat janji pada sang rembulan
Mengatakan padanya
Aku bisa menjadi seseorang
Yang kau butuhkan

Saturday, April 23, 2016

Mystory : Berlanjutlah Karya Ini

Terhitung dari sini
Kami semua melangkah
Terhitung dari kebersamaan ini
Kami semua berkarya

Memang langkah ini
Tak bersumber dari tempat yang sama
Tapi yakinlah
Derapan ini akan bermuara ke titik yang sama
Di tempat yang indah
Dimana kebersamaan akan hadir nyata
Menyisip halus dalam relung jiwa
Membongkar habis kenangan sang alam

Seiring waktu bergulir
Dan karya terus mengalir
Waktu yang tak sebentar ini
Akhirnya berujung juga
Di titik ini kita semua ada
Hadir menyapa dalam pandang mata

Senyum di bibir dan kalimat mengisi otak
Akan terbayarkah semuanya ?
Akan berlanjutkah karya ini ?
Awal mulanya tak mungkin tanpa akhir
Tinggal ketokan palu kita yang menentukan

Semua terjadi tanpa sengaja
Tapi semua terjadi karena alasan
Alasan Sang Kuasa untuk menjadikan semuanya
Palu ini memang bisa berkata
Tapi palu-Nya yang akan memecahkan semua
Hanya harap dan kata
Semoga sudi terjadi
Berlanjutlah karya ini

Tuesday, April 5, 2016

BUKAN CERPEN : Jarak - Kamu jangan berubah ya.

"Aku mau minggu depan kamu kesini dong."
"Maaf, aku ga bisa. Disini masih terlalu banyak kerjaan yang musti aku beresin."
"Jadi kapan kita bisa ketemu ?"
"Sabar dong. Emangnya aku tuh kayak kamu, gak punya beban, gak punya kerjaan, bebas mau ngapain aja, aku tuh gak bisa kayak gitu."
"Kok kamu jadi ngatain aku kayak gitu sih ?"
"Aku bukannya ngatain kamu. Tapi emang kita itu beda."
"Iya aku tau kita beda. Tapi gak usah sampe ngungkit-ngungkit masalah 'bebas-ngapain-aja' dong. Aku juga masih kuliah, masih banyak tugas, makalah, project."
"Tuh tau"
"Tapi aku tuh kangen sama kamu. Aku tuh pengen ketemu kamu."
"Yaudah"
"Yaudah apa?"
"Gini deh aku tanya. Kalo kita ketemu, terus kamu mau apa ? kita mau ngapain emangnya ?"
"Kok kamu nanya kayak gitu ?"
"Jawab aja dulu."
"Yaaa, aku mau kita ketemu, makan bareng, ngobrol bareng, seenggaknya kita bisa lebih bebas dan ga sekedar ngobrol lewat telepon kayak gini."
"Gitu aja ?"
"Itu bukan sekedar 'gitu aja' buat aku. Ketemu kamu itu setahun belum tentu sekali. Sekarang giliran minggu depan ada hari libur, kamu malah ga ada waktu buat aku."
"Aku udah bilang aku sibuk."
"Kamu tu egois tau gak..."
"Kamu yang egois !"
"..............."
"Kenapa diem ?"
"Aku kangen kamu. Itu doang kok. Maaf kalo aku egois"
"Tuh kan malah ngomong gitu, seolah-olah jadi aku yang salah. Yaudah gini, kamu aja yang kesini. Gimana ?"
"Aku cewek, aku masih kuliah. Jarak kita tuh ga sedeket itu."
"Itu kamu tau. Aku bisa ngertiin kondisi kamu. Dan kondisi aku tuh juga kurang lebih sama kayak kamu, jadi plis ngertiin aku juga."
"Kamu ngerti gak sih arti kangen ?"
"Aku tau...."
"Kamu pernah gak sih ngerasain kangen juga sama aku?"
"Aku....."
"Apa disini cuma aku yang terlalu bodoh menaruh rasa ini ke kamu sedangkan dalam jarak ini hanya aku yang berjuang ?"
"Ri, dengerin aku. Berhenti nangis."
"................"
"Kalo aku ga berjuang juga demi kamu, aku ga bakal tahan, ga bakal rela ngeladeni ocehan ga penting kamu tiap malem kayak gini."
"Kamu bilang ini ocehan ga penting?"
"Bukan itu intinya. Yang pasti, aku disini walaupun jauh dari kamu, walaupun ada jarak diantara kita, kamu masih tetap yang ada dihati aku. Bukan orang lain."
"Beribu kali aku udah denger omongan itu. Telinga aku panas tau"
"Tapi kamu percaya gak ?"
"Aku pengen banget untuk percaya. Tapi setiap kali jarak semakin jauh, waktu terus berlalu, aku jadi capek sendiri. Pikiran aku udah kemana-mana tentang kamu. Kamu cuma anggap aku adik lah, kamu ketemu orang lain yang lebih baik dari aku lah, kita ga bakalan ketemu lagi............."
"Gimana supaya kamu berhenti berpikir kayak gitu ?"
"Aku pengen kamu kesini, minggu depan. Luangin waktu buat aku."
"Selain itu."
"........................."
"Ilangin deh sifat kekanak-kanakan kamu yang pengennya cuma ketemu doang."
"Aku pengen......."
"Apa ?"
"Aku pengen kita terus kayak gini. Aku pengen kamu terus yakinin aku kayak gini. Aku pengen kamu jangan berubah. Dan....."
"Dan apa ?"
"Dan aku bakalan nunggu kamu sampe kamu kembali."
"Ri, aku janji aku ga bakalan berubah. Aku pasti kembali buat kamu. Tapi aku pengen kamu sabar."
"....................."
"Aku sayang kamu, Ri"

Seandainya di balik jarak yang terbentang luas ini, rajutan kasih yang telah ada tetaplah begini, aku yakin jarak seluas apapun, waktu yang selama apapun takkan berarti. 
Karena sebenarnya bukan jarak dan waktu yang memupuskan harapan dan memusnahkan rajutan kasih, tapi perubahan. 
Untuk kamu, jangan berubah ya. 

BUKAN CERPEN : Masih Akan Berlanjutkah ?

GA PERLU DI BACA. CUMA YANG MENGALAMI YANG NGERTI :")

Mengenalnya mungkin adalah hal yang sama sekali tidak pernah kubayangkan akan terjadi sebelumnya. Berjabat tangan dan mendengar alunan merdu suaranya dari jarak yang begitu dekat adalah kejadian luar biasa yang aku percaya bukanlah suatu kebetulan.
Aku percaya tidak ada yang namanya kebetulan, apalagi sampai sejauh ini.
Aku percaya pertemuan ini ada alasannya. 

Ketika mata ini terpejam dan pikiran melayang kembali ke masa itu, aku masih mengingat jelas, lengkap, bahkan tanpa satu pun terlewatkan. Pandangan matanya, baju yang ia kenakan, senyum di bibirnya, posisi ia berdiri, cara ia berbicara. Kenapa memori itu ada ? 
Karena hati berkata untuk jangan menghapusnya. 

**)
Merah. Awal sekali adalah merah. Berdiri di paling ujung barisan, di depan ratusan orang muda, dengan mic di tangan kanan menempel di bawah bibir. Saat itu, aku hanya memandangnya dari kejauhan. Saat itu hanya nama, hanya wajah, ya hanya sekedar itu. Awal yang aku anggap seperti angin berlalu, awal yang aku anggap hanyalah kebetulan. Lama sejak saat itu, bahkan di kegiatan berikutnya, dia yang kuanggap hanyalah sebuah kebetulan akhirnya tak kunjung datang, tak kunjung menampakkan wajah. Meyakinkan diri, bahwa memang kemarin itu adalah sebuah kebetulan. 

Berikutnya dia datang. Saat itu hitam. Tapi anehnya bukan ke arah dia sorot mata ini mengarah. Saat itu aku hanya merasakan hal yang sama seperti sebelumnya. Kebetulan yang kedua. "Kamu aja gimana?" Asing sekali rasanya, memang. Tapi tersadar, itu kalimat pertama mungkin. Kalimat asing. Masih belum ada rasa saat itu, masih menganggap semuanya akan berakhir sebentar lagi, jadi hanya kagum, terpendam begitu dalam. 
Selanjutnya pun masih hitam. Tapi berbeda. Sorot mata ini berbeda dari sebelumnya. "Itu dia kan?" Mata ini langsung mengenalinya sesaat setelah aku melihat pasukannya. Apa ini masih bisa disebut kebetulan ? Kebetulan yang ketiga ? Kurasa tidak. Melihatnya mengetik perlahan dengan laptop di hadapannya sambil sesekali terlihat bingung dengan proses yang berjalan entah ke arah mana. Sadar bahwa hari itu aku melihatnya sembari tersenyum. Sejak pertemuan itu, aku yakin akan ada hari esok, akan ada saat dimana pertemuan akan kembali. Dan sejak saat itu, mulailah penantian menyapa. Menyapa setiap paginya sejalan dengan tanggal demi tanggal berganti, bulan demi bulan bergulir. Lama rasanya mengikuti detik jam berputar. Hingga.......

Pertemuan yang keempat ? Iya. Cerita dimulai disini. Kisah dan kenangan. 
Berawal dari langkah kaki menuruni bus. Sapaan mengalir begitu saja, seperti teman yang sudah lama kenal. Tapi tidak demikian sebenarnya. Entah kenapa, bukan hanya saat itu tapi setiap saat waktu bergulir begitu cepat ketika bahagia menyapa, bahkan sampai-sampai tidak sempat untuk menarik nafas dan memikirkan ulang kejadian yang terjadi sedetik sebelum. Malam datang bersama kuning, duduk di sebelah tanpa aba-aba dengan tawa menggelegar menyaksikan pentas di panggung sana. Tangan ini pun tak kuasa untuk diam. Senyum pun seakan tak ingin berhenti menampakkan diri. Hanya saja saat itu ada ganjalan di hati. Belum sepenuhnya yakin. Aku ibaratkan Rain saat itu, yang masih begitu menyayangi seorang Gweny padahal hatinya ada untuk Dimas (Magic Hour). Ibaratnya aku masih harus berbagi, ibaratnya ini semua belum milikku. Akan tetapi, saat ungu, sarung, kemeja lengan panjang, dan ikat kepala itu tergambar jelas di mesin potret, aku merasa akan ada cerita baru di hari esok. Kisah ini akan berlanjut, dengan batu sandungan lain yang pasti akan bisa dilewatkan. 

Bagian ini mungkin cukup memalukan. Aku ingat bagaimana heboh dan sibuknya aku saat satu minggu sebelum menghadapi pertemuan kelima. 59 hari lamanya. Lama ? Sebenarnya iya. Berbeda banget dari yang sebelum-sebelumnya. Aku yang dulu bahkan tidak ada harapan sedikit pun untuk berjumpa, apalagi bertegur sapa dan menjalin cerita. Aneh, bagaimana pertemuan bisa membawa cerita bagi seseorang sampai sejauh ini. Waktu itu, kotak-kotak merah. 59 hari yang lewat terbayarkan hanya dengan satu jam setengah. Suasana berbeda. Kegiatan berbeda. Pertemuan yang sebenarnya tidak terduga. Aku ingat rasa pertama yang datang saat dirinya keluar lewat pintu kaca hitam di belakang. Deg. Sejak hari itu berulang kali kalimat ini selalu terbayang "Aku masih ga nyangka". Bersama si biru melewati hitam putih ramainya kotaku. Tanpa arah, dengan kesombongan bak tahu segalanya mengarungi mata angin yang berlawanan arah dari tujuan, hingga akhirnya tertawa saat tujuan hanyalah seratus meter dari tempat berdiri semula. Ketika kosong menyapa dan waktu terus mengejar, keputusan yang diambil pun masih membawaku melayang, meyakinkan diri bahwa itu benar terjadi. Melihat kedua tangannya lincah bermain seperti anak kecil dengan jarak tidak sampai satu meter di depanku. Melihatnya berbicara dengan orang lain diseberang sana sambil sesekali tersenyum melirik. Melihat ke 'sok' polosannya berkata bahwa dia tidak bisa, padahal begitu pandai melebihiku. Aku sempat bingung dengan apa yang didepanku saat itu. Menerawang ke arah lain dan berpikir. Kok bisa ya ini terjadi?

Tanpa memori nyata setelah pertemuan kelima, tapi aku begitu sulit berkata dengan 52 hari setelahnya. Hampir 20 jam bersama abu-abu, putih, dan kotak-kotak biru. Awal yang biasa sebenarnya. Hanya saja penutup yang tak terduga. Diguyur air dari alam bersama derapan langkah puluhan ciptaan Tuhan lainnya. Merasakan sakit dan bahagia bersamaan. Ketika mata terpejam, ketika otak berpikir sudah tak sanggup lagi, ada semangat yang datang saat itu. Mana bisa aku berhenti disini. Perjalanan masih panjang. Datang pergi datang pergi tak kunjung henti. Perginya pun tetap datang. Ah, kalimat yang aneh. Hanya aku yang bisa merasakan maknanya. Ketika semangat serasa milik diri ini. Ketika dirinya bahkan kurasakan selalu ada. Ada rasa putus asa sepasukan manusia saat itu, tapi ada senyum yang bodohnya dari diriku, merasa bahwa waktu ini diberikan Tuhan untuk aku kenang, untuk aku rasakan lebih lama. Dari hal sederhana seperti kunci, air minum, bangku sebelah, kemeja kotak-kotak yang tersampir tidak pada tempatnya sebenarnya, aku merasakan rasa baru. Bolehkah rasa ini muncul ? Kutanya pada langit malam saat perjalanan pulang hari itu, boleh tidaknya belakangan, yang pasti rasa ini ADA. 

Aku menuliskan kisah ini baru tiga hari sejak hitam kembali datang di 60 hari berikutnya. Setengah dari penantian ini sebenarnya putus asa menyergap. Berpikir bahwa 149 hari akan sia-sia saja. Ke tujuh ini hanya biasa saja sebenarnya. Sibuk begitu parah membuat semuanya berlalu sedemikian rupa, hanya potret kecil dengan kondisi sangat tidak siap yang ada untuk mengingatkan pertemuan ke tujuh ini. 

Kisah ini baru bisa kuketikkan sekarang. 
Mengapa ? 
Karena saat ini aku tersadar. 
Setelah ke tujuh ini belum ada rencana apapun. 
Belum ada kepastian untuk membalas penantian. 
Bertanya dalam hati, 
kisah ini..... 

Masih Akan Berlanjutkah ? 

Tertanda, lima april dua ribu enam belas. 
Dengan harapan untuk berjumpa lagi, di kemudian hari :)