Saturday, April 8, 2017

Mystory : Kau tahu 'maaf' ?

Kau tau apa itu ‘maaf’ ?
Aku tahu. Hanya sekadar tahu.
Aku tidak ingin mengenalnya lebih dalam,
apalagi sampai merasa dekat dan menjadikannya yang ‘paling’ di hidupku.

Aku hanya menjadikannya yang ‘asing’ dihidupku.
Ibaratkan seorang tukang tambal ban yang hanya akan aku jumpai saat ban motorku bocor,
atau seorang dokter yang hanya akan aku jumpai saat aku sakit,
Aku menjadikannya ‘pilihan terakhir’,
saat seolah tak ada lagi jalan keluar di labirin tak berujung dan aku terpaksa mati membusuk.
Karena bagiku, kala ‘maaf’ hadir,
kala itu juga aku dibawa ke rasa susah yang sangat dan sedih yang dalam.

Aku tak pernah ingin membiarkan ‘maaf’ hadir bersamaku
kala aku sedang menikmati hari,
kala aku sedang dipeluk kebahagiaan bersama temanku.
Karena jauh di lubuk hati,
aku telah menjadikannya sebagai ‘pengganggu’,
seolah tukang pengamen yang tiba-tiba memetik gitar dengan riang saat tenangnya makan malam.

Begitu pula kalian,
Teman, sahabat, dan semua yang hadir mengisi hidupku.
Aku tak pernah ingin ,
dan bahkan tak pernah mengharapkan
saat dimana ‘maaf’ terlontar dari bibir kalian.
Aku tentu lebih membutuhkan buku dibandingkan make-up saat aku hanyalah seorang pelajar,
Aku tentu lebih membutuhkan pakaian saat aku telanjang,
Aku tentu lebih membutuhkan makanan saat aku lapar.
Dan aku juga lebih membutuhkan kalian dibandingkan ‘maaf’ yang terucap.

Bagaimana mungkin aku bisa bahagia,
saat ‘maaf’ hadir dan merusak suasana,
apalagi saat kehadirannya malah memusnahkan kehadiranmu.
Aku tak pernah ingin ‘maaf’ menggantikan posisi kebersamaan kita.

Jikalau kalian berpikir aku akan membutuhkan senter saat lampu padam,
Kenyataannya aku bisa menggunakan lilin.
Jikalau kalian berpikir saat susah dan sedih melanda,
hanya ‘maaf’ yang harus kudapat,
kenyataannya aku hanya butuh kehadiran kalian.

Tapi memang,
Sebagaimana manusia pasti merasakan sakit, meskipun tak ingin.
Akan tiba pula saatnya dimana ‘maaf’ harus terpaksa hadir.
Tapi, bukan berarti aku ingin penyakit kronis dan penyakit tak tersembuhkan.
Aku pun tak ingin ‘maaf’ hadir untuk selamanya.

Biarkanlah ‘maaf’ menjadi kunci untuk membuka pintu dan membiarkanku merasakan angin luar.
Tapi, jangan jadikan ‘maaf’ sebagai kendaraan,
yang harus mengiringi perjalananku.
.
.
.
.
Karena bagiku, tak ada ‘maaf’ yang membahagiakan.