Saturday, December 10, 2016

Si Jago Merah di Tanah Xaverius

Awalnya otak, hati, segenap jiwa dan raga masih terpaku dan diombang-ambing dengan ketidakpastian akan materi matematika, integral. Seisi kelas bahkan menatap papan tulis dengan tatapan nanar, berharap bel pulang segera berbunyi. Aku melirik sekilas ke jam tangan. Masih 40 menit lagi sampai jam pelajaran keenam berakhir, sekaligus akhir kegiatan belajar mengajar untuk Sabtu itu.
Kala itu, salah satu temanku maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal.
Dan mulai dari detik itu, detik dimana temanku mulai menggoreskan tinta spidol ke papan tulis putih, detik itulah aku merasakan 40 menit yang tersisa itu bagaikan 4 detik saja…..
Brak ! Teman lain yang duduk di sisi jendela –menghadap ke luar ruangan– tiba-tiba saja bangkit berdiri dan mengintip ke luar, diikuti teman lain yang berada disisi yang sama. Ribut-ribut diluar yang katanya membuat mereka terusik. Aku masih tidak ambil pusing.
Mungkin anak-anak cowok yang berkelahi satu sama lain,
atau ada yang jatuh pingsan ditengah lapangan,
atau yang sedikit ekstrem, ada yang kesurupan.
Hanya sebatas itu tingkat ke’ekstreman bagiku..
Acuh tak acuh, masa bodoh, sampai akhirnya….
“Bu, ada asap, dari arah dapur belakang”

Hah ?

Langsung saja semuanya keluar dari ruangan, diawali tentu saja dari guru matematika kami. Masih belum ada kecemasan sedikitpun. Yang ada dibenakku kala itu, ‘ah paling ada yang membakar sampah, atau kalau memang itu asap dari kebakaran, mungkin itu kebakaran kecil dari konslet listrik, sebentar lagi pasti padam’. Teman cewek disebelahku sudah terlebih dahulu cemas, takut terjadi sesuatu yang mengerikan ujarnya. Aku menenangkannya.

Detik berikutnya terdengar teriakan.
“Matikan semua listrik, cabut semua kabel”
Sebelum aku berbalik ke ruangan untuk melaksanakan perintah, ekor mataku menangkap suatu kepulan asap hitam membubung ke langit dari arah dapur sekolah, yang semakin…. astaga, asap itu semakin membesar !
Aku kemudian berbalik ke ruangan, membantu melepas semua kontak listrik yang tersambung, memberesi proyektor, juga memberesi peralatanku sendiri. Kelas seketika kosong. Semua tas siswa sudah digandeng dalam sekejap mata.
Aku keluar. Hanya terpaku dari kejauhan. Aku rasakan ada puluhan menit yang kuhabiskan hanya untuk terdiam mematung memandangi pemandangan yang sangat asing itu. Pemandangan yang menampakan keramaian yang tak biasa dari arah dapur, dengan masing-masing tangan orang disana memegang seember penuh air.

Bagaimana perasaanku ?
Masih bingung. Antara percaya atau tidak. Aku sudah bersama dengan rombongan teman dari kelas lain saat itu. Ya, semuanya sudah tidak lagi fokus pada pelajaran di kelas, bahkan semuanya sudah berhamburan di sisi lapangan sekolah. Temanku mengambil handphone, menyodorkan kepadaku dan berkata “telepon pemadam kebakaran, ca”
Tidak ! Hatiku kala itu berkata tidak. Aku benar-benar belum yakin sepenuhnya detik itu.
Bagaimana kalau nanti sudah kutelepon pemadam kebakaran, dan mereka benar-benar datang kemari, lalu kemudian api sudah berhasil padam karena api yang ada hanya sebesar lilin ? Bisa-bisa aku disalahkan dengan perbuatan bodohku.
Kala aku berpikir demikian, terdengar suara berikutnya, bukan dari mulut manusia.
Suara letupan keras, diikuti dengan asap yang semakin menggelapi langit dan…… API !
Bahkan dari jarak puluhan meter, aku bisa melihat api itu. Api itu tidak kecil, pikirku.
Api terlihat sudah membakar atap dapur. Oh Tuhan !

Detik berikutnya, semua berlangsung sangat cepat.
Aku melihat puluhan siswa yang awalnya berada didekat tempat kejadian, lari berhamburan menjauhi sumber api.
Aku melihat motor-motor dari parkiran guru –dekat dapur– diangkut kearah lapangan. Tanpa kunci. Hanya dengan kekuatan 3 sampai 4 orang untuk satu motornya. Mana sempat lagi memikirkan dimana letak kunci motor.
Aku mendengar teriakan, “motor-motor siswa keluarkan dari parkiran”.
Aku tersadar, sedari tadi aku hanya diam mematung.
Seketika aku harus menjalankan perintah berikutnya dan melangkahkan kaki, seketika itu juga air mata menetes.
Cemas, panik. Ini sudah bukan kejadian biasa. Ini kebakaran !
Sekuat tenaga, aku bersama puluhan teman pengendara motor lainnya berlari keluar menuju parkiran motor siswa. Satu-satunya jalan menuju kesana hanya dengan melewati gerbang depan, disebelah ruang Tata Usaha yang berada di depan dapur.

Seandainya kalian tahu bagaimana perasaan kami saat itu……
Aku benar-benar tak menyangka dengan penglihatanku…..
Daun jendela yang terlepas dari tempatnya….
Jalan aspal yang terlihat putih akibat tebaran kertas arsip dimana-mana…..
Barang-barang yang semula rapi di dalam ruangan, sekarang sudah berserakan dimana-mana….
Wajah cemas guru-guru……
dan yang paling menyedihkan, si jago merah yang melahap ruangan dengan ganasnya !
Oh Tuhan !

Kembali pada realita.
Aku mendapati diriku berhasil keluar dengan motorku menuju jalanan agak jauh dari sekolah. Ditempat yang sekiranya aman, aku meletakkan motorku dan kembali menuju arah sekolah.
Dari luar, semua tampak jelas.
Sekolahku benar-benar kebakaran.
Api sudah menjalar melewati gerbang depan dan menuju lokal kelas.
Terlihat wajah semua orang cemas, termasuk diriku. Terdengar isak tangis.
Pasukan pemadam kebakaran baru tiba saat lokal kelas ketiga sudah dilahap si jago merah.
Sebagian teman yang bukan pengendara motor masih berada didalam. Kala itu pikiranku sudah tak lagi jernih, berpikir bahwa mereka ‘terjebak’ di dalam.
Dengan tekat apa yang entah merasukiku, aku dengan beberapa teman menuju ke motor, memilih untuk memutar jalan dan masuk ke area SMA lagi, melalui lapangan belakang yang terhubung dari kompleks SD Xaverius.

Pemandangan yang tampak berikutnya benar-benar diluar dugaan.
Dari dalam semuanya tampak benar-benar menyedihkan.
Sangat.
Berbeda dari saat aku diluar ketika api terhalang tembok yang tak terbakar,
dari dalam, tampak sangat jelas bagaimana api menyala-nyala membakar ruangan kelas satu persatu. Miris sekali rasanya.
Dua tahun lebih kenangan hadir dari tiap ruangan kelas itu, bagaimana ngantuknya kami di kelas bahasa inggris dan pendidikan kewarganegaraan, bagaimana isak tangis pernah terajut di kelas fisika, bagaimana ricuhnya kelas akuntansi, dan bagaimana bahagianya saat pertama kali bermain musik bersama di ruang band….
Dan dalam sekejap mata, semuanya musnah.

Ditambah lagi, kondisi di lapangan juga sangat berantakan.
Komputer beserta CPUnya, meja-meja guru, ratusan buku-buku, alat-alat laboratorium, bahkan sekaligus lemari-lemari kacanya sudah tidak lagi berada ditempatnya, melainkan tersepah habis di lapangan dan sekitarnya.
Pasrah…..
Rencana Tuhan begitu luar biasa….

Dalam sekejap saja, Tuhan menghabiskan gedung sekolah kami.
Air mata kembali jatuh ketika melihat beberapa teman yang terluka.
Darah, aku melihat darah dari kulit teman-temanku. Oh Tuhan !
Setiap kejadian pasti terjadi karena suatu alasan, apapun itu, Tuhanlah yang tahu jawabannya. Kita hanya perlu berserah pada kehendak-Nya dan menginteropeksi diri. Setidaknya, masih terselip rasa syukur dari kejadian ini. Syukur, karena Tuhan tidak menghabiskan seluruhnya. Syukur, karena Tuhan masih menyisahkan ruangan untuk kami melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Syukur, karena dari peristiwa ini kami tahu arti pengorbanan dan kerjasama sebagai satu keluarga, Xaverius.

Always in Memory,
Si jago merah di tanah SMA Xaverius
(Lubuklinggau, 17 September 2016)