Awalnya otak,
hati, segenap jiwa dan raga masih terpaku dan diombang-ambing dengan
ketidakpastian akan materi matematika, integral. Seisi kelas bahkan menatap
papan tulis dengan tatapan nanar, berharap bel pulang segera berbunyi. Aku
melirik sekilas ke jam tangan. Masih 40 menit lagi sampai jam pelajaran keenam
berakhir, sekaligus akhir kegiatan belajar mengajar untuk Sabtu itu.
Kala itu, salah
satu temanku maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal.
Dan mulai dari
detik itu, detik dimana temanku mulai menggoreskan tinta spidol ke papan tulis
putih, detik itulah aku merasakan 40 menit yang tersisa itu bagaikan 4 detik
saja…..
Brak ! Teman lain
yang duduk di sisi jendela –menghadap ke luar ruangan– tiba-tiba saja bangkit
berdiri dan mengintip ke luar, diikuti teman lain yang berada disisi yang sama.
Ribut-ribut diluar yang katanya membuat mereka terusik. Aku masih tidak ambil
pusing.
Mungkin
anak-anak cowok yang berkelahi satu sama lain,
atau ada yang
jatuh pingsan ditengah lapangan,
atau yang
sedikit ekstrem, ada yang kesurupan.
Hanya sebatas
itu tingkat ke’ekstreman bagiku..
Acuh tak acuh,
masa bodoh, sampai akhirnya….
“Bu, ada asap,
dari arah dapur belakang”
Hah ?
Langsung saja
semuanya keluar dari ruangan, diawali tentu saja dari guru matematika kami. Masih
belum ada kecemasan sedikitpun. Yang ada dibenakku kala itu, ‘ah paling ada
yang membakar sampah, atau kalau memang itu asap dari kebakaran, mungkin itu
kebakaran kecil dari konslet listrik, sebentar lagi pasti padam’. Teman cewek
disebelahku sudah terlebih dahulu cemas, takut terjadi sesuatu yang mengerikan
ujarnya. Aku menenangkannya.
Detik berikutnya
terdengar teriakan.
“Matikan semua
listrik, cabut semua kabel”
Sebelum aku
berbalik ke ruangan untuk melaksanakan perintah, ekor mataku menangkap suatu
kepulan asap hitam membubung ke langit dari arah dapur sekolah, yang semakin…. astaga,
asap itu semakin membesar !
Aku kemudian
berbalik ke ruangan, membantu melepas semua kontak listrik yang tersambung,
memberesi proyektor, juga memberesi peralatanku sendiri. Kelas seketika kosong.
Semua tas siswa sudah digandeng dalam sekejap mata.
Aku keluar.
Hanya terpaku dari kejauhan. Aku rasakan ada puluhan menit yang kuhabiskan
hanya untuk terdiam mematung memandangi pemandangan yang sangat asing itu. Pemandangan
yang menampakan keramaian yang tak biasa dari arah dapur, dengan masing-masing
tangan orang disana memegang seember penuh air.
Bagaimana
perasaanku ?
Masih bingung. Antara
percaya atau tidak. Aku sudah bersama dengan rombongan teman dari kelas lain
saat itu. Ya, semuanya sudah tidak lagi fokus pada pelajaran di kelas, bahkan
semuanya sudah berhamburan di sisi lapangan sekolah. Temanku mengambil
handphone, menyodorkan kepadaku dan berkata “telepon pemadam kebakaran, ca”
Tidak ! Hatiku
kala itu berkata tidak. Aku benar-benar belum yakin sepenuhnya detik itu.
Bagaimana kalau
nanti sudah kutelepon pemadam kebakaran, dan mereka benar-benar datang kemari,
lalu kemudian api sudah berhasil padam karena api yang ada hanya sebesar lilin ?
Bisa-bisa aku disalahkan dengan perbuatan bodohku.
Kala aku
berpikir demikian, terdengar suara berikutnya, bukan dari mulut manusia.
Suara letupan
keras, diikuti dengan asap yang semakin menggelapi langit dan…… API !
Bahkan dari
jarak puluhan meter, aku bisa melihat api itu. Api itu tidak kecil, pikirku.
Api terlihat
sudah membakar atap dapur. Oh Tuhan !
Detik
berikutnya, semua berlangsung sangat cepat.
Aku melihat
puluhan siswa yang awalnya berada didekat tempat kejadian, lari berhamburan
menjauhi sumber api.
Aku melihat
motor-motor dari parkiran guru –dekat dapur– diangkut kearah lapangan. Tanpa
kunci. Hanya dengan kekuatan 3 sampai 4 orang untuk satu motornya. Mana sempat
lagi memikirkan dimana letak kunci motor.
Aku mendengar
teriakan, “motor-motor siswa keluarkan dari parkiran”.
Aku tersadar,
sedari tadi aku hanya diam mematung.
Seketika aku
harus menjalankan perintah berikutnya dan melangkahkan kaki, seketika itu juga
air mata menetes.
Cemas, panik.
Ini sudah bukan kejadian biasa. Ini kebakaran !
Sekuat tenaga,
aku bersama puluhan teman pengendara motor lainnya berlari keluar menuju
parkiran motor siswa. Satu-satunya jalan menuju kesana hanya dengan melewati
gerbang depan, disebelah ruang Tata Usaha yang berada di depan dapur.
Seandainya kalian tahu bagaimana perasaan kami saat
itu……
Aku benar-benar
tak menyangka dengan penglihatanku…..
Daun jendela
yang terlepas dari tempatnya….
Jalan aspal yang
terlihat putih akibat tebaran kertas arsip dimana-mana…..
Barang-barang
yang semula rapi di dalam ruangan, sekarang sudah berserakan dimana-mana….
Wajah cemas
guru-guru……
dan yang paling
menyedihkan, si jago merah yang melahap ruangan dengan ganasnya !
Oh Tuhan !
Kembali pada
realita.
Aku mendapati
diriku berhasil keluar dengan motorku menuju jalanan agak jauh dari sekolah. Ditempat
yang sekiranya aman, aku meletakkan motorku dan kembali menuju arah sekolah.
Dari luar, semua
tampak jelas.
Sekolahku
benar-benar kebakaran.
Api sudah
menjalar melewati gerbang depan dan menuju lokal kelas.
Terlihat wajah
semua orang cemas, termasuk diriku. Terdengar isak tangis.
Pasukan pemadam
kebakaran baru tiba saat lokal kelas ketiga sudah dilahap si jago merah.
Sebagian teman
yang bukan pengendara motor masih berada didalam. Kala itu pikiranku sudah tak
lagi jernih, berpikir bahwa mereka ‘terjebak’ di dalam.
Dengan tekat apa
yang entah merasukiku, aku dengan beberapa teman menuju ke motor, memilih untuk
memutar jalan dan masuk ke area SMA lagi, melalui lapangan belakang yang
terhubung dari kompleks SD Xaverius.
Pemandangan yang
tampak berikutnya benar-benar diluar dugaan.
Dari dalam
semuanya tampak benar-benar menyedihkan.
Sangat.
Berbeda dari
saat aku diluar ketika api terhalang tembok yang tak terbakar,
dari dalam,
tampak sangat jelas bagaimana api menyala-nyala membakar ruangan kelas satu persatu.
Miris sekali rasanya.
Dua tahun lebih kenangan
hadir dari tiap ruangan kelas itu, bagaimana ngantuknya kami di kelas bahasa
inggris dan pendidikan kewarganegaraan, bagaimana isak tangis pernah terajut di
kelas fisika, bagaimana ricuhnya kelas akuntansi, dan bagaimana bahagianya saat
pertama kali bermain musik bersama di ruang band….
Dan dalam
sekejap mata, semuanya musnah.
Ditambah lagi,
kondisi di lapangan juga sangat berantakan.
Komputer beserta
CPUnya, meja-meja guru, ratusan buku-buku, alat-alat laboratorium, bahkan
sekaligus lemari-lemari kacanya sudah tidak lagi berada ditempatnya, melainkan
tersepah habis di lapangan dan sekitarnya.
Pasrah…..
Rencana Tuhan
begitu luar biasa….
Dalam sekejap
saja, Tuhan menghabiskan gedung sekolah kami.
Air mata kembali
jatuh ketika melihat beberapa teman yang terluka.
Darah, aku
melihat darah dari kulit teman-temanku. Oh Tuhan !
Setiap kejadian
pasti terjadi karena suatu alasan, apapun itu, Tuhanlah yang tahu jawabannya.
Kita hanya perlu berserah pada kehendak-Nya dan menginteropeksi diri.
Setidaknya, masih terselip rasa syukur dari kejadian ini. Syukur, karena Tuhan
tidak menghabiskan seluruhnya. Syukur, karena Tuhan masih menyisahkan ruangan
untuk kami melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Syukur, karena dari peristiwa
ini kami tahu arti pengorbanan dan kerjasama sebagai satu keluarga, Xaverius.
Always in
Memory,
Si jago merah di
tanah SMA Xaverius
(Lubuklinggau, 17
September 2016)