Sunday, May 17, 2015

Who is she ?

Bulu kudukku berdiri, tubuhku seketika merinding. Aku menoleh ke belakang.
"Ada apa, Ri ?"
"Rasanya kayak ada yang ngikutin kita deh, Nes !"
Saat itu aku tengah berjalan beriringan dengan Vanessa, teman sekelas sekaligus tetanggaku. Aku melihat tak seorang pun berjalan di belakang kami, bahkan suara angin pun hampir terdengar jelas di telinga saking sepinya jalanan itu. Perumahan yang kami tempati ini memang termasuk kumuh dan sepi. Jarang ada orang yang mau tinggal disini, kecuali keluargaku, dan mungkin juga keluarga Vanessa. Satu-satunya alasan mengapa keluargaku tetap bertahan di Perumahan Kebon Anyer ini karena rumahku yang sekarang ini katanya adalah peninggalan dari nenek moyang kakekku dulu. Banyak barang dirumahku yang tak terurus, banyak barang dirumahku yang bahkan tak boleh aku sentuh sama sekali.
"Serius lo Ri? Asem mistis banget sih omongan lo !"
"Entahlah Nes, mungkin cuma perasaan gue aja kali.. " aku melemparkan senyum kepada sahabatku itu. Aku tahu betul ia sedang ketakutan sekarang. Vanessa memang tipe cewek yang gak doyan horror, bertolak belakang sekali denganku. 
Kami pun berpisah jalan di pertigaan, aku belok kanan dan Nessa belok kiri. Walaupun kumuh bahkan angker, perumahan ini termasuk cukup luas di daerahku ini. Ada blok A sampai blok O. Jalanan utama yang kami lewati tadi adalah deretan rumah dari blok A sampai E, deretan rumahku adalah blok F sampai J, dan deretan rumah Nessa adalah blok sisanya. Aku tinggal tepatnya di blok H dan Nessa di blok M.
Aku memasukkan kedua tanganku ke saku jaket yang kukenakan. Sekarang aku berjalan sendiri. Dan aku merasakan lagi. Aku merasakan ada orang yang mengikutiku, langsung saja kupercepat langkah kakiku bahkan secara tidak sadar napasku hampir ngos-ngosan. Aku pun sampai di depan rumah bertingkat tiga dengan pagar yang tinggi menjulang, ya rumahku. Aku membuka pagarnya dan terdengarlah bunyi khas pagar tua yang memekakkan telinga. Pintu depan rumahku selalu terkunci rapat, baru dibuka mungkin sekali dalam setahun. Aku pun masuk ke rumah lewat pintu belakang sehingga aku mengitari rumahku yang luas itu.
"Kok tumben cepet pulangnya?"
"Ada rapat guru, ma." jawabku seraya melepas sepatu dan melempar asal tas sekolahku.
Tercium aroma sedap dari dapur. Gulai ayam, pikirku. Perut yang kosong dan otak yang terlampau lelah berkat materi-materi dahsyat dari Pak Andre membuatku langsung mengambil posisi di meja belakang siap menyantap gulai ayam lezat khas Nyonya Andini, mamaku. 
"Ganti baju dulu sana Ri. Pulang-pulang kok langsung nangkring di meja makan.."
"Ihhh si mama, kayak baru kenal Riri seminggu aja. Riri mana pernah ganti baju kalo pulang sekolah. Nanti ganti bajunya pas mandi sore aja. Sekalian hemat air dan ga nyusain Mbak Tari nyuciin baju Riri" cerocosku tak sabar sambil meraih piring, sendok plus garpunya.
Aku pun mencedok nasi dari rice cooker secukupnya lalu menyodorkan piring itu ke mama. Mama pun meraih piringku dan dengan cekatan mengisi penuh piringku dengan gulai ayam kesukaanku. Eit, bukan karena aku menyuruh mamaku mengambilkan gulai ayam untukku lalu kalian berpikir aku adalah anak manja. Faktor terbesarnya hanyalah karena posisi gulai ayam itu dekat dengan posisi mamaku duduk. Sudahlah, itu bukan hal yang penting.
"Mama gak sekalian makan bareng Riri aja?" tanyaku sambil menyuapkan suapan besar ke mulut.
"Mama udah makan duluan tadi, mama temenin kamu aja disini." 
"Emmmm, enak banget gulai nya hari ini. Pake resep baru yah maa ?" ujarku tak berbohong. 
Memang gulai ayam hari ini terasa lebih enak dari biasa-biasanya. Tapi, mungkin tidak.. Apa mungkin perutku yang begitu lapar membuat gulai ini terasa begitu enak hari ini ? Atau karena perasaanku yang kurang enak saat pulang tadi yang membuat gulai ini jadi enak ? Pikiranku melayang mengingat kejadian tadi ...... 
Plak ! Mama menepuk tangannya tepat di depan mukaku yang sedang terlihat jelas sedang melamunkan sesuatu.
"Sebegitu enaknya ya gulai mama sampe kamu bengong gitu, hah ? " ujar mama seraya menggodaku.
"Iyah maaaa, enakkkk banget, Riri hampir pingsan tau gak !" jawabku hiperbola banget.
"Oh ya Ri, mama denger kelas kamu ada kedatangan murid baru ya ? "
Aku seketika stop menyuapkan nasi ke mulutku dan agak heran dengan pertanyaan mama itu.
"Murid baru ? Murid baru mana ya ? Gak ada tuh..."
"Oh ternyata belum ya,..." ujar mama seraya mengalihkan pandangan ke sekeliling dapur.
Aku kembali heran untuk kedua kalinya dengan jawaban mama itu. "Maksudnya? Belum apa ma?"
"Ehh, gak ada kok. Udah lanjutin aja makannya." Aku melihat mama menjawab dengan agak gugup. Ia pun beranjak dari tempat duduknya.
"Loh mau kemana ma ? Katanya mau nemenin Riri makan.."
"Mama lupa ada urusan kantor bentar. Mama harus nelpon klien dulu, mama ke kamar yaa."
Tanpa sempat bertanya lagi, mama pun pergi meninggalkanku sendirian di meja makan.
Ku selesaikan makanku dengan cepat. Aku tak berselera lagi setelah suapan yang kedua tadi. Ada yang aneh dengan hari ini, ataukah.... aku yang aneh ? Entahlah...






*
Sinar matahari menembus lewat kaca jendela kamarku. Seperti biasanya ketika matahari baru mulai beraksi, aku telah rapi dengan seragam sekolahku. Faktor rumah yang jauh adalah alasannya. Kalau rumahku dekat, aku bahkan bisa saja baru membuka mata saat matahari sudah berada tepat di atas kepalaku. Cih, hiperbola lagi. 
Aku pun keluar dari kamar tercintaku, menyambar tas dan berpamitan dengan mama.
Aku kembali menyeret pagar tua yang menjulang tinggi itu. Biasanya aku pergi sekolah juga bareng dengan Vanessa. Kami biasa janji bertemu di pertigaan tempat kami kemarin berpisah jalan. 
Setelah sekian langkah berjalan, aku melihat dari kejauhan ada seorang gadis berambut panjang di pertigaan itu. Samar-samar aku tak dapat mengenali gadis itu, mungkin itu Vanessa ? Tapi tak biasanya aku ragu seperti itu ketika mengenali Vanessa. Aku bahkan melihatnya sudah hampir 2 tahun di Sekolah Menengah Atas ini. 
Jarak kami semakin dekat karena aku memang berjalan terus tanpa berhenti. Tiba-tiba saja gadis itu melesat dengan sangat cepat ke jalanan utama keluar dari Perumahan Kebon Anyer. Tanpa berpikir panjang, aku pun mengejarnya. Gadis itu berlari begitu cepat, bayangan kakinya nyaris tak terlihat. Ketika jarakku dengannya memendek, tiba-tiba dari belakang sebuah tangan menyentuh pundakku. Sontak bulu kudukku langsung berdiri. 
Aku menoleh ke belakang dan seketika jantungku rasanya ingin copot ketika melihat ternyata di belakangku itu adalah Vanessa.
"Lo kenapa si Ri, pagi-pagi kayak ngejer maling gitu. Kita juga masih belom telat kok. Lo kenapa ?" Vanessa menyadarkanku.
Benar kata Vanessa, apa alasanku mengejar gadis itu ? 
Bukan! Aku bukannya mengejar gadis itu tanpa alasan. Walaupun dari kejauhan, aku merasakannya. Aku merasakan tatapan gadis itu, nyaris sama dengan yang aku rasakan kemarin ketika pulang bersama Vanessa. Tatapan marah seraya ingin memangsaku bak babi di tengah hutan. Aku hanya penasaran siapa gadis itu sebenarnya. Tapi, aku juga tidak mungkin memberi alasan ini pada Vanessa, bisa-bisa ia lari terbirit-birit meninggalkanku mengingat dia sangat benci hal-hal berbau horor.
"Gak Nes. Gue kira itu elo, makanya gue kejer. Kirain lo mau ninggalin gue dan cepet-cepet naik bus" jawabku berbohong, dengan napas yang sudah kembali normal setelah ngos-ngosan mengejar gadis tadi.
"Ihh ngaco lo ah ! Mimpi buruk ye semalem ?"
Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. "Yuk" 
Dengan sejuta rasa aneh dan rasa penasaran aku meninggalkan daerah perumahan itu, menunggu bus di halte dan berangkat ke sekolah.





*
SMA WooBin.
Iya, nama SMA ku ini ke-korea-korea-an banget kan ? Kalau kalian adalah K-popers kalian pasti tau siapa itu Kim Woo Bin. Tapi WooBin disini beda cerita dengan Kim WooBin. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh pemilik sekolah ini ketika mencetuskan nama sekolah itu, yang pasti itu tidak penting sama sekali bagiku.
Ketika aku tiba di gerbang sekolah, bel tanda 5 menit lagi kelas di mulai berbunyi. Ya, kami-aku dan Vanessa- memang selalu datang mepet istilahnya, tapi gak sampe telat. Aku pun menaiki tangga dan masuk ke kelas XI-2 yang berada di lantai 2. Tak seperti biasanya aku begitu antusias mengikuti pelajaran hari itu. Apa ini semua karena aku sudah berlari begitu semangat pagi-pagi buta tadi ? Mungkin. 
Bel kelas di mulai berbunyi. Pak Andre yang mendapat jatah mengajar kelasku pagi ini masuk ke kelas. Tidak ada yang aneh saat itu, sampai .....
"Oke anak-anak hari ini kelas XI-2 kedatangan teman baru, pindahan dari Surabaya. Silakan masuk" ujar Pak Kribo itu seraya mempersilahkan seorang gadis di luar pintu kelas untuk masuk.
Mataku membola, aku melihat gadis itu masuk ke dalam kelas dengan langkah kaki yang diseret. Rambutnya di kuncir kuda ke belakang. Aku menduga kalau rambutnya diurai, mungkin sedikit lebih panjang dari rambut Vanessa. Poni yang rata menutupi keningnya, hidung mancung dengan sebuah tanda lahir di mata kanannya. Aku nyaris mengira dia adalah Albino karena kulitnya begitu putih dan kembali bertolak belakang dengan kulitku (tapi kulitku tidak begitu hitam seperti pantat penggorengan 'kok).
Ketika sedang asyik mengamati penampilannya dari luar, aku mendengar suara lembut keluar dari bibirnya yang tipis itu.
"Aku Reyna Cecilia. Biasa dipanggil Rey" walaupun suaranya lembut, aku tersadar gadis ini tak tersenyum sedikit pun. Bahkan bukan hanya tidak tersenyum, bibirnya itu nyaris melengkung ke bawah.
"Baiklah Rey, silakan tempati bangku yang kosong. Kita mulai pelajaran kita pagi ini" Pak Andre memutus perkenalan singkat Rey. Dasar Pak Kribo, ia memang tidak suka berlama-lama menyia-nyiakan waktu, alasannya yaa karena materinya masih banyak dan harus mengejar.... 
Pandanganku tetap tertuju pada Rey, anak baru itu. Rey berjalan melalui lorong bagian mejaku, dan dalam sekejap ia duduk tepat di belakangku. 
Tekk !
Aku merasakannya lagi. Kali ini aku benar-benar merasa seperti di teror. Tak salah lagi ini adalah perasaan yang sama seperti yang kemarin. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Aku melihat Rey, gadis ini sesungguhnya cantik, tapi aku merasa ada yang aneh dari dirinya. 
"Heii, anak baru nih.. Tinggal dimana ?" BODOH ! Demi langit biru menurunkan hujan, suaraku terdengar gemetar bahkan di telingaku sendiri.
Rey tidak menjawab, ia mengeluarkan buku dari tasnya. Merasa di acuhkan aku kembali menghadap ke depan mengikuti pelajaran.
Rasa antusias yang tadi aku rasakan lenyap hilang entah kemana...
Aku mengikuti pelajaran hari itu tidak dengan setengah hati, tapi bahkan dengan seperempat hati. 





*
"Huaaaa, gila ! Rabu memang melelahkan" ujar Vanessa ketika bel tanda sekolah usai berbunyi. 
Hufft, aku menghembuskan nafas yang panjang. Seharian berada di depan Rey benar-benar membuatku nyaris ingin permisi ke WC setiap pergantian jam pelajaran. Jangan tanya kenapa. Aku hanya merasa tidak nyaman. Risih istilahnya. 
Sebelum aku sempat berdiri dari tempat dudukku, aku melihat Rey sudah bangkit berdiri terlebih dahulu dan pergi meninggalkan kelas, kembali dengan langkah yang diseret.
Tiba-tiba sebersit pikiran menghampiri benakku. Kalau memang Rey adalah gadis yang mengikutiku kemarin, lalu apakah Rey juga yang kulihat di pertigaan pagi tadi ? Tapi lari gadis pagi tadi begitu cepat, sedangkan Rey, sepenglihatanku jalan saja diseret. 
"Ri ! Kok akhir-akhir ini lo suka bengong si?" Vanessa membuyarkan lamunanku.
"Ehh.. ga kok Nes, gakk ! Gue capek doang.." jawabku ngeles.
"Bohong ih ! Atau jangan-jangan elo......." 
"Apa ?"
"Lo jatuh cinta ya Ri ?"
Demi dewa Neptunus laut, seorang Riri bisa jatuh cinta?
"Vanessa tersayang, lo kayak baru kenal gue aja. Ngaco ah lo. Udah yuk cabut !" balasku sambil mengaitkan lenganku ke lengan Vanessa. 
It's time to go home !




*
Di jalan pulang, kata-kata Vanessa membuatku hampir tersedak ketika menyeruput es cincauku.
"Mata lo katarak ya Nes? Mirip ? Mirip darimana semprul" aku membalas omongan ngaco Vanessa.
"Ih Ri, gue serius tau. Nih ya, walaupun dia manis cantik dan mempesona, walaupun lo brandal, gak cantik, dan gak mempesona, tapi gue ngerasa lo sama Rey itu mirip." Vanessa mengulangi kata-kata itu lagi. 
"Asli, lo kayaknya udah terkontaminasi dengan materi-materi gaje Pak Andre deh, makanya lo jadi error begini."
"Terserah lo deh Ri, gue kan cuma berpendapat" ujar Vanessa mengalah sambil menyeruput es cincau miliknya yang tinggal separuh itu.




*
Siang ini, ketika aku sampai dirumah aku tak melihat mama dimanapun. Sepertinya mama pergi arisan lagi deh, pikirku. Benar saja- ketika aku membuka tudung saji di meja makan, ada sepucuk kertas yang jelas-jelas pasti tertuju padaku.

Mama arisan lagi. Riri makan siangnya masak sendiri ya. Mama pulang malam. 
Kalau ada apa-apa telepon mama ya.

Mama.


Aku pun membuka kulkas. Mataku tertuju pada sekotak kue yang ada di dalam kulkas. 3 hari yang lalu mama baru saja berulang tahun. Kue itu adalah kue dari teman mama. Tanpa banyak pikir, aku mengeluarkan kotak kue itu, mengiris sepotong kue dan meletakkannya di piring kecil. Aku memang terlalu malas untuk masak sendiri. Kue ulang tahun untuk makan siang tidak akan membuat aku mati kan ? hehehe..
Aku pun membawa piring berisi sepotong kue itu ke lantai atas. Sebelum benar-benar sampai di lantai atas, rasa penasaranku tiba-tiba muncul ketika melewati meja kecil di tengah-tengah belokan tangga.  Meja itu hanya satu meter lebarnya dengan tinggi sebatas pinggangku. Seperti yang kukatakan di awal, banyak barang dirumah ini yang tidak pernah kusentuh sama sekali, termasuk meja itu. Dulu waktu aku masih kecil aku berniat mengecek isi laci meja itu, namun mama melarangku, alasannya kalau di buka dari dalam laci itu akan ada nenek sihir yang keluar menerkamku dan menemaniku sepanjang tidur di malam hari. Aku tersenyum malu mengingat aku yang dulu mepercayai omongan mamaku itu. Sekarang aku sudah SMA, hanya orang bodoh yang mempercayai itu. Lalu, berpikir kalau mama sedang tidak ada dirumah, aku pun membuka laci meja itu dan menemukan setumpukan buku mirip album foto kecil. Aku meraih satu diantara tumpukan itu. Benar saja, itu adalah album foto.
Di halaman pertama album itu tertulis namaku dan... hei, aku yakin ada nama lain di halaman pertama ini. Namun tulisan itu sudah kabur seperti tertumpah air atau..... sengaja di hapus. Aku pun membalik album itu dan menemukan foto-fotoku sewaktu bayi.
Apa-apaan ini, fotoku selucu dan seimut ini malah disembunyikan oleh mama ? Apa mama malu memilikiku? Huss, aku menggelengkan kepala menyapu khayalan konyolku itu. Aku melanjutkan melihat-lihat isi album itu. Semuanya sama, semuanya adalah diriku. Sampai di halaman tengah, aku tercekat melihat aku dan....... aku ??? 
Hei, di foto itu aku ada dua. Aku yakin foto itu tidak di edit, karena mana ada orang zaman dulu yang pandai mengedit seperti sekarang, komputer saja belum ada.
Nafasku memburu dan detak jantungku semakin tak keruan ketika melihat salah satu dari foto anak itu mata kanannya memiliki tanda lahir. 
Cepat-cepat aku menutup album itu dan memasukkannya kembali ketempat semula. Pikiranku sudah melayang kemana-mana. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi dari pintu depan. Bertahun-tahun aku tinggal di rumah ini, tapi sampai sekarang aku masih belum tahu yang mana satu kunci pembuka pintu depan ini. 
Aku menyibak tirai depan, tapi aku tak melihat seorang pun di luar sana. Aku merasa kalau itu pasti bukan mama. Mama tak mungkin pulang ke rumah dan menekan bel untuk masuk, lagi pula mama bilang ia akan pulang malam. Lalu siapa yang menekan bel ? Papa kah ? Mustahil, papa ada di London sekarang, sedang dinas luar negeri. 
Sesaat setelah aku menjauh dari pintu depan dan membelakangi pintu itu, tiba-tiba saja aku mendengar suara pintu tua yang dibuka. Saat aku berusaha menoleh ke belakang, ada sesuatu yang membungkamku dan seketika semua terasa gelap, gelap dan semakin gelap.




*
Aku terbangun dalam posisi tergeletak di depan pintu utama. Kepalaku sakit dan aku berusaha berdiri. Aku tersadar bukan hanya kepalaku yang sakit tapi juga kakiku. Seketika aku melihat darah mengalir deras dari kaki kananku. Sakit. Rasanya sakit sekali. Pandanganku kemudian beralih pada sebuah kertas yang tergeletak di samping tubuhku. 


Riri Cahaya Thomas, ini salam pertemuanku kembali. Sudah 16 tahun lamanya bukan ?


Reyna Cecilia Thomas.  






No comments:

Post a Comment